KILAS

Blogger Tips and TricksLatest Tips For BloggersBlogger Tricks

FLASH NEWS

Latest Post

Kecamatan Ngantru alternatif lokasi bandara di Karesidenan Kediri

Written By Idekita on Selasa, 26 Juli 2016 | 8:32:00 PM


ilustrasi pemetaan luas wilayah untuk lokasi bandara, membandingkan dengan luas bandara international Juanda dan Ngurah Rai

Seandainya wacana pembangunan bandar udara di Karesidenan Kediri mempertimbangkan kemungkinan bisa terintegrasinya berbagai moda transportasi lain sepeti kereta dan bus, sehingga memudahkan akses bagi para calon penumpang yang berada di kawasan terdekat dengan Karesidenan Kediri lainnya, seperti Madiun, Nganjuk, Jombang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, dan Kediri, maka menurut hemat saya akan strategis jika bandara tersebut dibangun di sekitar perbatasan Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Kediri, tepatnya di Kecamatan Ngantru (Tulungagung) dan Kecamatan Kras (Kediri).

Adapun berbagai pertimbangannya antara lain sebagai berikut :
-  Berdekatan dengan jalur kereta dan jalur bus Antar Kota Dalam Propinsi (AKDP) maupun Antar Kota Antar Propinsi (AKAP)
-  Sebagia besar lokasinya merupakan lahan persawahan, sehingga biaya pembebasan lahan relatif lebih murah.
-  Wilayah Kecamatan Ngantru berada di titik tengah di antara wilayah di karesidenan Kediri serta lokasinya lebih mudah diakses oleh berbagai trayek moda transportasi yang sudah ada selama ini.

Jadwal kereta yang melintas :
1. KA Gajayana (eksekutif) pagi 06.50 WIB dari Jakarta dan sore 15.50 WIB dari Malang (berhenti di stasiun Madiun-Kertosono-Kediri-Tulungagung-Blitar-Wlingi-Kepanjen).
2. KA Majapahit (ekonomi AC)  pagi 07.30 WIB dari Jakarta dan sore 20.45 WIB dari Malang (berhenti di stasiun Paron-Madiun-Caruban-Nganjuk-Kediri-Tulungagung-Blitar-Wlingi-Kepanjen).
3. KA Matarmaja (ekonomi)  pagi 05.00 WIB dari Jakarta dan sore 19.00 WIB dari Malang (berhenti di stasiun Paron-Madiun-Caruban-Nganjuk-Kediri-Tulungagung-Blitar-Wlingi-Kepanjen).
4. KA Malabar (Eksekutif-Bisnis-Ekonomi)  pagi 06.30 WIB dari Bandung dan sore 17.00 WIB dari Malang (berhenti di stasiun Paron-Madiun-Caruban-Nganjuk-Kediri-Tulungagung-Blitar-Wlingi-Kepanjen).
5. KA Malioboro Ekpress (Eksekutif- Ekonomi AC)  pagi 01.40 WIB dan siang 13.10 WIB dari Jogjakarta dan siang 10.40 WIB dan malam 22.35 WIB dari Malang (berhenti di stasiun Paron-Madiun-Caruban-Nganjuk-Kediri-Tulungagung-Blitar-Wlingi-Kepanjen)
6. Kereta lokal .. Dhoho Penataran dari surabaya berhenti tiap setasiun sebanyak 4 kali perjalanan setiap hari dan dari Malang berhenti di tiap stasiun juga sebanyak 4 kali perjalanan setiap hari.

Jalur bus AKDP (antar kota dalam propinsi) :
1. Trayek Trenggalek-Surabaya via Kertosono ( rute yang dilewati Trenggalek-Tulungagung-Kediri-Kertosono-Jombang-Mojokerto-Surabaya) (24 jam non)
2. Trayek Trenggalek-Surabaya via Pare ( rute yang dilewati Trenggalek-Tulungagung-Kediri-Pare-Jombang-Mojokerto-Surabaya)
3. Trayek Blitar-Nganjuk via Kediri ( rute yang dilewati Blitar-Srengat-Tulungagung-Kediri-Pace-Nganjuk) bus Kawan Kita
4. Trayek Blitar-Jakarta via Nganjuk ( rute yang dilewati Blitar-Tulungagung-Kediri-Pace-Nganjuk-Madiun-Ngawi) bus Harapan Jaya, Rosalia Indah, dll
5. Trayek Tulungagung-Denpasar via Kediri ( rute yang dilewati Tulungagung-Kediri-Jombang-Mojokerto-Pasuruan-Probolinggo-Jember-Banyuwangi-Denpasar) bus Gunung Harta
6. Trayek Malang-Kediri via Pare  lanjut ke Tulungagung (rute yang dilalui Malang-Batu-Pujon-Ngantang-Kasembon-Kandangan-Pare-Gurah-Kediri) bus Puspa Indah, kemudian dari Kediri nyambung dengan bus dari Surabaya.

Berdasarkan peta satelit, terlihat bentangan area persawahan yang berjarak sekitar 3.8 km dari ujung utara hingga selatan, diperkirakan cukup untuk membangun runway sekelas Bandara Juanda.
membentang sepanjang area persawahan berjarak sekitar 3.8 km, atau setara dengan panjang runway bandara Juanda
ujung utara (melintasi area persawahan, berdekatan dengan perkampungan penduduk dan sungai brantas
ujung selatan (menlintasi area persawahan dan sedikit berdekatan dengan rumah penduduk






______________________________

Berbagai wacana berkembang mengenai rencana pembangunan bandara di wilayah Karesidenan Kediri, seperti diwartakan beberapa media online berikut :


Radio ANDIKA || Kediri - Jatim - Tingkatkan perekonomian diwilayah eks karesidenan Kediri dan wilayah barat Jawa Timur, sangat dibutuhkan pembangunan Bandara dalam waktu dekat ini. 
Hal itu disampaikan kepala perwakilan Bank Indonesia Kediri Djoko Raharto usai menggelar forum bisnis 2016. Menurutnya untuk memacu perekonomian diwilayah eks karesidenan kediri dan wilayah barat di Provinsi Jawa TImur, sudah saatnya dibangun bandara disalah satu daerah di eks karesidenan kediri. 
Agar bandara segera terealisasi, semua kepala daerah di eks karesidenan kediri harus duduk bersama dan tidak mengedepankan egonya masing-masing.
Untuk diketahui, beberapa tahun lalu pemkab kediri sudah melakukan studi kelayakan untuk lokasi pembangunan bandara. Namun hasil studi tersebut belum mendapat respon dari gubernur jawa timur. 
Namun wacana pembangunan bandara di eks karesidenan kediri kembali mencuat, setelah Bupati Trenggalek Emil Dardak juga berharap adanya bandara.(atc)

Kabupaten Kediri Paling Cocok untuk Bandara Wilayah Mataraman
Kabupaten Kediri mengklaim paling siap membangun bandara di antara kabupaten atau kota lain di eks-Karesidenan Kediri.



________________________________
TEMPO.CO, TRENGGALEK -– Bupati Trenggalek Emil Elestianto Dardak mengklaim pembangunan bandar udara di wilayahnya akan mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat. Selama ini pertumbuhan di kawasan itu seperti terisolir karena keterbatasan akses transportasi.

Emil mengatakan riset yang dia lakukan bersama beberapa kepala daerah di wilayah eks-Karisidenan Kediri menunjukkan peran penting bandara untuk mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat.

Selama ini warga di tujuh kota/kabupaten eks-Karisidenan Kediri yang terdiri dari Kabupaten/Kota Kediri, Kabupaten/Kota Blitar, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Tulungagung, dan Kabupaten Trenggalek membutuhkan waktu sangat lama untuk menggunakan jasa pesawat terbang.

Selama ini masyarakat mengandalkan dua bandara Abdurahman Saleh Malang dan Juanda di Sidoarjo sebagai akses transportasi udara. Padahal jarak kedua bandara tersebut sangat jauh dan mencapai di atas 100 kilometer untuk kawasan yang berada di pesisir selatan Pulau Jawa seperti Trenggalek dan Pacitan.
Demikian pula bandara Adi Sumarmo di Solo yang cukup jauh diakses oleh calon penumpang dari Kabupaten Pacitan dan Ponorogo yang bersandingan dengan karisidenan Kediri. “Ini yang membuat wilayah ini seperti terisolir,” kata Emil, Jumat 4 Maret 2016.

Jauhnya akses transportasi menuju bandar udara ini cukup menghambat akses masyarakat maupun barang di wilayah eks-Karisidenan Kediri. Sebab satu-satunya alat transportasi yang tersedia hanyalah jalur darat yang menghubungkan wilayah itu dengan kota besar lain yang cukup padat.

Suami artis Arumi Bachsin ini menambahkan pembangunan bandara ini nanti akan mendongkrak keluar masuknya distribusi barang ke Trenggalek, di samping jalur laut yang saat ini juga tengah dibangun pemerintah daerah setempat. Saat ini pemerintahan Emil juga telah menyiapkan pembangunan infrastruktur maritim di beberapa titik kawasan pantai yang berbatasan dengan perairan laut selatan.

Selama ini Kabupaten Trenggalek mengklaim memiliki potensi alam laut yang cukup besar. “Namun arus barang lewat laut dan darat tidak secepat udara,” katanya.

Khusus untuk pembangunan bandara ini, Emil menegaskan dirinya tidak berambisi membangun di wilayah Trenggalek. Bandara ini, menurut dia, bisa didirikan di kabupaten/kota manapun di wilayah eks-Karesidenan Kediri. “Kami tidak ngotot harus di Trenggalek, karena paradigma bandara ini untuk membuka akses ekonomi wilayah eks-Karisidenan Kediri,” tegasnya.

Dia juga optimis kesepakatan para kepala daerah mendirikan bandara ini bisa segera direalisasi seiring terbitnya sinyal positif dari Kementerian Perhubungan. Saat ini pemerintah dan Panglima TNI tengah mengkaji pembukaan wilayah udara di kawasan ini yang sebelumnya menjadi zona latihan pesawat militer Lanud Iswahjudi Magetan.

 HARI TRI WASONO
_________________________________

KEDIRI, BANGSAONLINE.com - Guna meningkatkan perekonomian di wilayah eks karesidenan Kediri dan wilayah barat Jawa Timur, pembangunan Bandara sangat dibutuhkan dalam waktu dekat ini.
Hal itu disampaikan kepala perwakilan Bank Indonesia Kediri Djoko Raharto usai menggelar forum bisnis 2016. "Perlu, sangat perlu sekali bandara di wilayah sini," ujarnya.
Agar bandara segera terealisasi, semua kepala daerah di eks karesidenan kediri harus duduk bersama dan tidak mengedepankan ego masing-masing. "Semua kepala daerah harus kompak dulu," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Bupati Kediri Masykuri Ihsan yang hadir dalam forum itu mengaku proses bandara tinggal menunggu waktu. Sebab, pihak Pemkab kediri sudah melakukan feasibility study (FS) dan tinggal menunggu persetujuan untuk Detail Engineering Design.
"Dari beberapa kota dan kabupaten diwilayah eks karesidenan dan wilayah barat jawa timur, baru kita yang siap dengan FS-nya,” ujarnya.
Menurut Masykuri, ada tiga lokasi yang dilakukan FS untuk bandara. Yakni, di kecamatan Plosoklaten, Kunjang dan Tarokan.
Sementara itu, menurut Walikota Kediri Abdullah Abu Bakar, dari beberapa wilayah di eks karesidenan Kediri paling pas di wilayah kabupaten Kediri. “Paling pas di kabupaten, karena pas tengah-tengah,” jelasnya. (rif/rev)

Potensi besar dari bisnis asongan

Written By Idekita on Kamis, 21 Juli 2016 | 6:20:00 AM



Pada saat naik bus "Kawan Kita" ketika perjalanan menuju terminal Kediri, saya sempat berbincang-bincang dengan salah seorang pedagang asongan makanan yang sedang berdiri di pintu belakang bus tersebut.

S : "Lebaran gini ramai, Pak, jualannya?"
P : "Alhamdullilah lumayan ramai, mas, tapi ya cuma momen lebaran gini ..."
S : "ini sudah mau pulang atau baru jualan?"
P : "sudah mau pulang sekalian balikin ke bossnya, sy kan cuma sistem setoran"
S : "dimana Pak alamat bossnya?"
P : "situ di daerah banaran"
S : "mulai jam berapa jualannya?
P : "biasanya mulai jam 8 sampai jam 3 sore"
S : "hari ini sudah dapat berapa duit hasil jualan bersihnya?"
P : "ya hampir 100-an.. tapi ya cuma pas musim lebaran saja mas"
S : "biasanya?"
P : "paling-paling antara 40 ribu sampai 50 ribu"
S : "ada berapa banyak pak asongan yang jualan seperti bapak ini?"
P : "ya buanyak mas, ada ratusan pedagangnya"
S : "{dalam hati, ooo.. banyak juga ya}.. kalo pas kondisi sepi, minimal dapat berapa duit ya bisa dibawa pulang ke rumah?"
P : "ya itu tadi kisaran 40-an ribu"
S : "lumayan juga ya pak (meskipun kalo dibandingkan dengan pekerjaan sbg kuli bangunan, masih belum sebarapa, kuli bangunan sehari bisa dibayar 60 ribu.)"

Tak lama kemudian, tiba di perempatan terminal lama Kediri, si bapak pedangan asongan tadi pun turun dari bus yang saya tumpangi.

Dari perbincangan tersebut saya mulai otak-atik angka...
Jika setiap pedangan asongan sehari bisa bawa pulang keuntungan bersih sekitar Rp 40 ribu saja,  katakanlah ada sebanyak 100 orang pedagang asongan yang jualan setiap hari, maka setiap sehari total penghasilan bersih yang mereka hasilkan Rp 4.000.000. Anggaplah setiap pedagang mengambil margin keuntungan rata-rata sekitar 20%, maka berarti Harga Pokoknya kisaran 80%nya, maka bisa dianalisa bahwa modal barang dagangan yang dibawa setiap pedangan asongan kurang lebih hanya senilai  Rp 200 ribu atau banter-bantere hingga Rp 250 ribu saja anggaplah masih ada barang yang tersisa yang tidak laku terjual. (40.000 / 20% = Rp  200 ribu).

Artinya sebenarnya potensi dari para pedagang asongan itu .. sangat luar biasa, hanya dengan bermodalkan dana tak lebih dari Rp 250 ribu saja setiap orang, maka dalam sehari sudah bisa meberikan nilai tambah minimal Rp 40 ribu setiap hari. Coba kalo mereka jualannya 20 hari dalam sebulan, maka modal awal Rp 250 ribu, akan menghasilkan paling sedikit sebesar 800 ribu untuk setiap pedangan asongan. Sungguh, angka yang cukup fantastis muliplier effect dari bisnis asongan.

Kalo melihat dari sisi bos pemodalnya, dengan modal usaha kisaran Rp 25.000.000, asumsi setiap pedangan membawa barang dagangan senilai Rp 250.000, dikalikan jumlah pedangan sekitar 100 orang, maka  sudah bisa dipergunakan untuk menghidupi banyak orang dan keluarganya.

Dari analisa di atas, saya berpikiran, seandainya kita para alumni, urunan ngumpulin dana mungkin sekitar Rp 25.000.000 hingga Rp 30.000.000 saja, lalu kita pergunakan untuk memodali pedangan-pedangan kecil, tidak harus asongan sperti pada gambar di atas, bisa mereka yang jualan tanpa kios dan gerobak seperti yang ada di pasar-pasar tradisional, seperti yang jualan nasi bungkus, bothokan, lopis, cenil, tiwul, gatot, tape, bakul sayur-sayuran yang lesehan di tanah, bakul kerupuk, bakul telur, bakul pisang, bakul kelopo, bakul godong gedang, bakul puyuh, bakul rempah-rempah, bakul sayur ideran (ethek) yang kira-kira dengan memodali 250 ribu hingga 300 ribu mereka masih bisa bekerja. Dalam pemikiran saya .. dengan dana sebesar 30 juta .. mungkin sudah bisa dipergunakan untuk memberi manfaat berupa lapangan pekerjaan untuk sekitar 100-an orang, tentunya harus selektif dalam memilih orang untuk menjalankan usaha tersebut. Diprioritaskan mereka yang punya semangat tinggi untuk berjualan, atau yang sudah terbiasa berjualan, kita modali atau tambah modalnya agar dagangannya semakin 'pepek' atau banyak, sehingga memuingkin yang berangkutan mendapatkan hasil yang lebih besar dari sebelumnya.

Kalo hanya ngumpulin dana kisaran 30 juta untuk sekitar separo dari jumlah alumni kita, saya rasa tidak terlalu sulit. Namun dengan dana tersebut, kita bisa memberikan nilai manfaat kepada banyak orang sepanjgan mereka bisa menjalankannya terus menerus... sepanjang dana tersebut terus berputar. Bisa jadi dana tersebut tidak akan berkurang, malah terus bertambah.. Kalaupun hanya terkumpul separonya atau Rp 15 juta saja. pun juga sudah bisa memberi manfaat kepada 50-an orang, sampai dengan para pedagang kecil itu, sudah bisa mandiri memodali sendiri dari hasil menyisihkan sebagian hasil usahanya setiap hari.

#gagasan model pemberdayaan ekonomi kecil

Mencari Seorang Pedagang Asongan

Written By Idekita on Rabu, 13 Januari 2016 | 11:00:00 PM


Hari ini adalah hari Minggu. Sudah menjadi rutinitasku hampir setiap minggu, ketika waktu sudah menunjukkan pukul 11:20 WIB pertanda aku harus segera bergegas meninggalkan rumah menuju tempat pemberhentian bus di  perempatan Toko "Oranyono" Pasar Wage.

Aku harus segera ke stasiun Kediri untuk melanjutkan perjalanan dengan kereta Brantas menuju Jakarta.
Saat itu bus yang kutumpangi menuju Kediri adalah bus Harapan Jaya. Armadanya masih cukup baru, interiornya bagus dan bersih, kursinya masih kinclong, ber AC dan  full video musik selama perjalanan menuju kota Kediri. Beberapa video lagu khas 'New Palapa' yang diputar oleh awak bus untuk menghibur penumpang yang sebagian mulai memejamkan matanya dan ada yang sudah tertidur lelap.

Ketika perjalanan bus sudah sampai di pertigaan Ngronggo Kediri, seperti biasanya selalu ada saja pedagang asongan yang naik bus menjajakan barang dagangannya. Mumpung tidak ada penumpang yang berdiri, aku sempatkan memotret si pedagang asongan itu ketika mulai mendekatiku. Ini momen yang tepat aku bisa mendokumentasikannya untuk ilustrasi tulisan ini.

Dari gambar yang aku abadikan, aku bisa melihat lebih detail sebenarnya apa saja jenis makanan yang dijajakannya. Sekilas bisa dilihat, dagangannya ada tahu dijual dengan harga sebungkus Rp2000, aqua botol @ Rp 3000, sate bekicot (O2) dijual dengan harga Rp10.000/3 bungkus, camilan kacang goreng dan biji jambu mete @ Rp 2000. Dalam hati aku berhitung dengan analisa sederhana saja, seandainya barang itu terjual semuanya, kira-kira berapa jumlah rupiah yang bisa dibawa pulang oleh si bapak itu buat menafkahi keluarganya di rumah. Estimasi pengawutanku, mungkin jika dagangannya laku semua .. mungkin pendapatan kotornya tidak akan lebih dari Rp 200 ribu. Andaikan keuntungan rata-ratanya sekitar 20%-nya saja, maka penghasilan bersih yang dibawa pulang hanya kisaran Rp 40 ribu hingga Rp 50 ribu saja.

Yang menarik perhatianku, Jika omsetnya Rp 200 ribu (itu pun jika barang dagangannya bisa habis terjual), dengan margin keuntungan sekitar 20%-25% maka modal awal untuk bisa berjualan seperti itu hanya membutuhkan dana sekitar  Rp 150 ribu atau Rp 160 ribu saja. Artinya, hanya dengan modal yang relatif kecil yaitu Rp 160 ribu, uang ditangan mereka sudah dapat menghasilkan penghasilan tambahan bersih sekitar Rp 40.000 setiap berjualan. Artinya pula, jika mereka bekerja selama seminggu saja, ditangan orang-orang seperti itu bisa menggandakan dana tersebut menjadi bertambah 2 kali lipatnya. Bagaimana jika mereka berjualan selama sebulan atau setahun, tentu dana tersebut akan berkembang dan menghasilkan sekian kali lipat dari modal awalnya.

Dibalik tampilannya yang sederhana itu, sebenarnya tersimpan potensi yang cukup besar yang dimiliki oleh para asongan. Pekerjaan yang selama ini kita anggap remeh, hanya seorang pedagang asongan, namun di tangan mereka,  dana yang relatif kecil bisa dikembangkan untuk menghasilkan keuntungan yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan dana yang lebih besar yang dipinjamkan kepada para debitur/pengusaha  kelas besar, yang terkadang malah sering menjadi kredit macet yang merugikan banyak pihak.

Andaikan saja ada ribuan orang keluarga tidak mampu yang bisa dibantu permodalannya untuk ngasong atau berjualan apa saja, dengan pinjaman modal yang tidak terlalu besar, mungkin akan semakin banyak keluarga tidak mampu yang bisa ditingkatkan kesejahteraannya. Kalaupun terpaksa harus ngasong, untuk bisa mencukupi kebutuhan keluarganya, tentu mereka akan berpikir bagaimana supaya hasil dari ngasong (atau jualan apapun) hasilnya bisa buat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari mereka.

Tak perlu dengan uang besar untuk bisa membantu mensejahterakan mereka. Tak perlu butuh dana besar untuk mebuat lapangan pekerjaan bagi orang-orang ulet seperti mereka. Orang-orang seperti mereka bisa diberdayakan agar bisa semakin mandiri memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain.

Sebenarnya kita pun bisa berbuat sesuatu untuk membantu sedikit mensejahterakan orang-orang yang punya keuletan seperti para asongan itu. Hanya dengan ratusan ribu rupiah saja, di tangan  mereka uang kecil tersebut bisa dikembangkan menjadi sebuah pekerjaan yang bisa menjadi tumpuan hidup bagi anak isterinya.

Aku pun ingin rasanya berbagi untuk bisa membantu seseorang yang bersedia mengasong. Tidak perlu memberikan jaminan, tidak perlu mengangsur setiap hari, dan tidak perlu mengembalikannya dengan sejumlah imbalan bunga tertentu seperti yang berlaku kalau mereka meminjam dana kecil kepada "bank thithil". Cukup dengan kejujuran, ketekunan dan menjaga amanah, mereka dapat terus menggunakan dana pinjaman kita untuk modal mengasong, sampai  yang bersangkutan mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk memodalinya sendiri untuk usaha lain yang lebih besar. Sekiranya sudah bisa mandiri, mereka bisa kembalikan pinjaman modal awal tersebut untuk selanjutnya supaya bisa dipinjamkan kembali kepada orang lain yang membutuhkannya untuk modal mengasong.

Adakah yang mau?.

____________________________________________________________________
sebagai ilustrasi
berikut analisa sederhana mengukur potensi ekonomis para pengasong :

asumsi modal awal setiap pengasong @ Rp 200 ribu setiap pengasong, dan setiap pengasong targetnya sehari bisa menghasilkan pendapatan bersih minimal Rp 20.000 atau margin keuntungan 10%,  Jika ada 10 orang pengasong yang menjadi binaan, maka dari modal awal Rp 2.000.000 (10 x Rp 200.000) dalam setiap sepuluh hari akan berkembang menjadi Rp 4.000.000 [Rp 2.000.000 modal awal + (10 org x 10 hari x Rp 20.000)]. Sebulan akan bertambah minimal menjadi 4 kali lipatnya Rp 8.000.000 [= Rp 2.000.000 modal awal + (10 org x 30 hari x Rp 20.000)]. Bagaimana pula jika bisa berlangsung selama 12 bulan. Apalagi jika pada bulan ke empat mereka sudah bisa mengembalikan modal awalnya dan dipinjamkan untuk modal usaha ngasong kepada orang yang berbeda, maka multiplier effect manfaat yang bisa diperoleh akan semakin besar lagi karena tiap empat bulan jumlah orang yang menjalankan bisa bertambah menjadi 10 orang baru lagi, sehingga dalam setahun bisa 30 orang yang bisa memanfaatkannya dari modal awal yang sama. Jika semua berjalan normal, modal awal tidak berkurang, dan sudah bisa membantu menghidupi sekitar 30 orang dan sejumlah keluarganya masing-masing.

 jika diasumsikan :
 - jangka waktu pengembalian modal adalah pada akhir bulan ke-4 (target bisa memodali sendiri)
 - rata-rata keuntungan yang didapat setiap hari adalah 10% dari modal = Rp 20.000/org
 - rata-rata sebulan bekerja dalam 25 hari kerja, atau 4 bulan = 100 hari kerja

 maka, bisa dihitung potensi manfaat ekonomis sbb :
 pada bulan ke-1  : 10 orang x Rp 20.000 x 300 hari = Rp   60.000.000
 pada bulan ke-5  : 10 orang x Rp 20.000 x 200 hari = Rp   40.000.000
 pada bulan ke-9  : 10 orang x Rp 20.000 x 100 hari = Rp   20.000.000
                                         jumlah potensi manfaat ekonomis = Rp 120.000.000

modal awal yang diperlukan untuk memodali 10 org pertama @ Rp 200.000 hanya sebesar  Rp 2.000.000

Dari ilustrasi,  di atas sekedar ingin menggambarkan saja bahwa kita sebenarnya bisa membantu meningkatkan kesejahteraan untuk orang-orang yang membutuhkan pekerjaan sekelas pedagang asongan, pedagang sayuran di pasar-pasar yang berjualan secara lesehan, atau  pedagang sayuran keliling (tukang ethek) tanpa memerlukan modal besar dan uang kita mungkin tidak banyak berkurang, tetapi sudah bisa memberikan multiplier effect manfaat yang jauh lebih besar dari nilai bantuan yang telah kita berikan, asalkan kita bantu mereka mengelolanya agar menjadi lebih baik dan suatu ketika bisa semakin mandiri memodali sendiri.

Mungkin uang Rp 50 ribu bagi kita tidak terlalu berarti, tetapi jika kita bisa patungan sebanyak 4 orang saja, maka akan terkumpul dana Rp 200.000. Andaikan kita pinjamkan kepada seseorang yang berani menjadi pedagang asongan, tanpa imbalan bunga, tanpa angsuran, dan tanpa jaminan, maka bagi dia uang tersebut akan sangat berarti dan bisa dipergunakannya untuk modal menghidupi anak dan istrinya sampai dia mampu mandiri dan melakukan hal yang sama untuk orang lain.

---------------------------------------------------------

Seperti para asongan, pedangan sayuran keliling (orang Tulungagung menyebutnya dengan "bakul ethek") atau yang jualan sayuran yang lesehan di pasar-pasar, atau pedangang kerupuk seperti  foto di bawah ini, jika barang dagangan mereka laku terjual habis.. kita bisa perkirakan berapa rupiah yang bisa dibawa pulang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Untuk bisa bertahan hidup.. mereka tidak perlu membutuhkan modal yang terlalu besar, Rp 200.000 ditangan mereka sudah bisa dipergunakan untuk modal usaha seperti yang mereka lakukan... meskipun hasilnya tidak seberapa, yang penting mereka tidak sampai meminta-minta.
Pedagang sayuran keliling ("bakul ethek"),  kalo dangannya habis
mungkin hanya bernilai Rp 200-300 an ribu 
Jualanya hanya pepaya mentah rajangan, kulit melinjo, dan
irisan buah nangka .. mungkin nilai dagangannya tidak sampai Rp 100.000

Penjual kerupuk, mampunya hanya menjual beberapa bungkus kerupuk,
mungkin modalnya tak lebih dari Rp 250.000

Berbagi dan MengInspirasi

Republika Online RSS Feed

Hits






 
SUPPORTED : IKATAN ALUMNI STAN TULUNGAGUNG | Copyright © 07 Januari 2016. Inspirasi STAN Tulungagung - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger