Hari ini adalah hari Minggu. Sudah menjadi rutinitasku hampir setiap minggu, ketika waktu sudah menunjukkan pukul 11:20 WIB pertanda aku harus segera bergegas meninggalkan rumah menuju tempat pemberhentian bus di perempatan Toko "Oranyono" Pasar Wage.
Aku harus segera ke stasiun Kediri untuk melanjutkan perjalanan dengan kereta Brantas menuju Jakarta.
Saat itu bus yang kutumpangi menuju Kediri adalah bus Harapan Jaya. Armadanya masih cukup baru, interiornya bagus dan bersih, kursinya masih kinclong, ber AC dan full video musik selama perjalanan menuju kota Kediri. Beberapa video lagu khas 'New Palapa' yang diputar oleh awak bus untuk menghibur penumpang yang sebagian mulai memejamkan matanya dan ada yang sudah tertidur lelap.
Ketika perjalanan bus sudah sampai di pertigaan Ngronggo Kediri, seperti biasanya selalu ada saja pedagang asongan yang naik bus menjajakan barang dagangannya. Mumpung tidak ada penumpang yang berdiri, aku sempatkan memotret si pedagang asongan itu ketika mulai mendekatiku. Ini momen yang tepat aku bisa mendokumentasikannya untuk ilustrasi tulisan ini.
Dari gambar yang aku abadikan, aku bisa melihat lebih detail sebenarnya apa saja jenis makanan yang dijajakannya. Sekilas bisa dilihat, dagangannya ada tahu dijual dengan harga sebungkus Rp2000, aqua botol @ Rp 3000, sate bekicot (O2) dijual dengan harga Rp10.000/3 bungkus, camilan kacang goreng dan biji jambu mete @ Rp 2000. Dalam hati aku berhitung dengan analisa sederhana saja, seandainya barang itu terjual semuanya, kira-kira berapa jumlah rupiah yang bisa dibawa pulang oleh si bapak itu buat menafkahi keluarganya di rumah. Estimasi pengawutanku, mungkin jika dagangannya laku semua .. mungkin pendapatan kotornya tidak akan lebih dari Rp 200 ribu. Andaikan keuntungan rata-ratanya sekitar 20%-nya saja, maka penghasilan bersih yang dibawa pulang hanya kisaran Rp 40 ribu hingga Rp 50 ribu saja.
Yang menarik perhatianku, Jika omsetnya Rp 200 ribu (itu pun jika barang dagangannya bisa habis terjual), dengan margin keuntungan sekitar 20%-25% maka modal awal untuk bisa berjualan seperti itu hanya membutuhkan dana sekitar Rp 150 ribu atau Rp 160 ribu saja. Artinya, hanya dengan modal yang relatif kecil yaitu Rp 160 ribu, uang ditangan mereka sudah dapat menghasilkan penghasilan tambahan bersih sekitar Rp 40.000 setiap berjualan. Artinya pula, jika mereka bekerja selama seminggu saja, ditangan orang-orang seperti itu bisa menggandakan dana tersebut menjadi bertambah 2 kali lipatnya. Bagaimana jika mereka berjualan selama sebulan atau setahun, tentu dana tersebut akan berkembang dan menghasilkan sekian kali lipat dari modal awalnya.
Dibalik tampilannya yang sederhana itu, sebenarnya tersimpan potensi yang cukup besar yang dimiliki oleh para asongan. Pekerjaan yang selama ini kita anggap remeh, hanya seorang pedagang asongan, namun di tangan mereka, dana yang relatif kecil bisa dikembangkan untuk menghasilkan keuntungan yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan dana yang lebih besar yang dipinjamkan kepada para debitur/pengusaha kelas besar, yang terkadang malah sering menjadi kredit macet yang merugikan banyak pihak.
Andaikan saja ada ribuan orang keluarga tidak mampu yang bisa dibantu permodalannya untuk ngasong atau berjualan apa saja, dengan pinjaman modal yang tidak terlalu besar, mungkin akan semakin banyak keluarga tidak mampu yang bisa ditingkatkan kesejahteraannya. Kalaupun terpaksa harus ngasong, untuk bisa mencukupi kebutuhan keluarganya, tentu mereka akan berpikir bagaimana supaya hasil dari ngasong (atau jualan apapun) hasilnya bisa buat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari mereka.
Tak perlu dengan uang besar untuk bisa membantu mensejahterakan mereka. Tak perlu butuh dana besar untuk mebuat lapangan pekerjaan bagi orang-orang ulet seperti mereka. Orang-orang seperti mereka bisa diberdayakan agar bisa semakin mandiri memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain.
Sebenarnya kita pun bisa berbuat sesuatu untuk membantu sedikit mensejahterakan orang-orang yang punya keuletan seperti para asongan itu. Hanya dengan ratusan ribu rupiah saja, di tangan mereka uang kecil tersebut bisa dikembangkan menjadi sebuah pekerjaan yang bisa menjadi tumpuan hidup bagi anak isterinya.
Aku pun ingin rasanya berbagi untuk bisa membantu seseorang yang bersedia mengasong. Tidak perlu memberikan jaminan, tidak perlu mengangsur setiap hari, dan tidak perlu mengembalikannya dengan sejumlah imbalan bunga tertentu seperti yang berlaku kalau mereka meminjam dana kecil kepada "bank thithil". Cukup dengan kejujuran, ketekunan dan menjaga amanah, mereka dapat terus menggunakan dana pinjaman kita untuk modal mengasong, sampai yang bersangkutan mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk memodalinya sendiri untuk usaha lain yang lebih besar. Sekiranya sudah bisa mandiri, mereka bisa kembalikan pinjaman modal awal tersebut untuk selanjutnya supaya bisa dipinjamkan kembali kepada orang lain yang membutuhkannya untuk modal mengasong.
Adakah yang mau?.
____________________________________________________________________
sebagai ilustrasi
berikut analisa sederhana mengukur potensi ekonomis para pengasong :
asumsi modal awal setiap pengasong @ Rp 200 ribu setiap pengasong, dan setiap pengasong targetnya sehari bisa menghasilkan pendapatan bersih minimal Rp 20.000 atau margin keuntungan 10%, Jika ada 10 orang pengasong yang menjadi binaan, maka dari modal awal Rp 2.000.000 (10 x Rp 200.000) dalam setiap sepuluh hari akan berkembang menjadi Rp 4.000.000 [Rp 2.000.000 modal awal + (10 org x 10 hari x Rp 20.000)]. Sebulan akan bertambah minimal menjadi 4 kali lipatnya Rp 8.000.000 [= Rp 2.000.000 modal awal + (10 org x 30 hari x Rp 20.000)]. Bagaimana pula jika bisa berlangsung selama 12 bulan. Apalagi jika pada bulan ke empat mereka sudah bisa mengembalikan modal awalnya dan dipinjamkan untuk modal usaha ngasong kepada orang yang berbeda, maka multiplier effect manfaat yang bisa diperoleh akan semakin besar lagi karena tiap empat bulan jumlah orang yang menjalankan bisa bertambah menjadi 10 orang baru lagi, sehingga dalam setahun bisa 30 orang yang bisa memanfaatkannya dari modal awal yang sama. Jika semua berjalan normal, modal awal tidak berkurang, dan sudah bisa membantu menghidupi sekitar 30 orang dan sejumlah keluarganya masing-masing.
jika diasumsikan :
- jangka waktu pengembalian modal adalah pada akhir bulan ke-4 (target bisa memodali sendiri)
- rata-rata keuntungan yang didapat setiap hari adalah 10% dari modal = Rp 20.000/org
- rata-rata sebulan bekerja dalam 25 hari kerja, atau 4 bulan = 100 hari kerja
maka, bisa dihitung potensi manfaat ekonomis sbb :
pada bulan ke-1 : 10 orang x Rp 20.000 x 300 hari = Rp 60.000.000
pada bulan ke-5 : 10 orang x Rp 20.000 x 200 hari = Rp 40.000.000
pada bulan ke-9 : 10 orang x Rp 20.000 x 100 hari = Rp 20.000.000
jumlah potensi manfaat ekonomis = Rp 120.000.000
modal awal yang diperlukan untuk memodali 10 org pertama @ Rp 200.000 hanya sebesar Rp 2.000.000
Dari ilustrasi, di atas sekedar ingin menggambarkan saja bahwa kita sebenarnya bisa membantu meningkatkan kesejahteraan untuk orang-orang yang membutuhkan pekerjaan sekelas pedagang asongan, pedagang sayuran di pasar-pasar yang berjualan secara lesehan, atau pedagang sayuran keliling (tukang ethek) tanpa memerlukan modal besar dan uang kita mungkin tidak banyak berkurang, tetapi sudah bisa memberikan multiplier effect manfaat yang jauh lebih besar dari nilai bantuan yang telah kita berikan, asalkan kita bantu mereka mengelolanya agar menjadi lebih baik dan suatu ketika bisa semakin mandiri memodali sendiri.
Mungkin uang Rp 50 ribu bagi kita tidak terlalu berarti, tetapi jika kita bisa patungan sebanyak 4 orang saja, maka akan terkumpul dana Rp 200.000. Andaikan kita pinjamkan kepada seseorang yang berani menjadi pedagang asongan, tanpa imbalan bunga, tanpa angsuran, dan tanpa jaminan, maka bagi dia uang tersebut akan sangat berarti dan bisa dipergunakannya untuk modal menghidupi anak dan istrinya sampai dia mampu mandiri dan melakukan hal yang sama untuk orang lain.
---------------------------------------------------------
Seperti para asongan, pedangan sayuran keliling (orang Tulungagung menyebutnya dengan "bakul ethek") atau yang jualan sayuran yang lesehan di pasar-pasar, atau pedangang kerupuk seperti foto di bawah ini, jika barang dagangan mereka laku terjual habis.. kita bisa perkirakan berapa rupiah yang bisa dibawa pulang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Untuk bisa bertahan hidup.. mereka tidak perlu membutuhkan modal yang terlalu besar, Rp 200.000 ditangan mereka sudah bisa dipergunakan untuk modal usaha seperti yang mereka lakukan... meskipun hasilnya tidak seberapa, yang penting mereka tidak sampai meminta-minta.
Pedagang sayuran keliling ("bakul ethek"), kalo dangannya habis mungkin hanya bernilai Rp 200-300 an ribu |
Jualanya hanya pepaya mentah rajangan, kulit melinjo, dan irisan buah nangka .. mungkin nilai dagangannya tidak sampai Rp 100.000 |
Penjual kerupuk, mampunya hanya menjual beberapa bungkus kerupuk, mungkin modalnya tak lebih dari Rp 250.000 |